Sejarah Syekh Quro Karawang lengkap dengan sumbernya

 Syekh Quro - Menurut naskah Purwaka Caruban Nagari, Syekh Quro adalah seorang ulama, putra dari ulama besar dari negeri Campa yang bernama Syekh Yusuf Siddik yang masih ada garis keturunan dengan Syekh Jalaluddin ulama Mekkah. Jika ditarik dan dilihat dari silsilah keturunan, maka Syekh Quro adalah keturunan Sayyidina Husein Bin Sayyidina Ali R.A menantu Nabi Muhammad SAW. dari keturunan Dyah Kirana (Ibunya Syekh Hasanudin atau Syekh Quro). Selain itu, Syekh Quro juga masih saudara seketurunan dengan Syekh Nurjati Cirebon dari generasi ke - 4 Amir Abdullah Khanudin.

                "Meskipun dakwah dan penyebaran ajaran islam ini dilarang,                                                                    kelak dari keturunan raja pajajaran akan menjadi Waliyullah                                                                     yang meneruskan perjuangan penyebaran ajaran islam". 

Sebelum berlabuh di pelabuhan Karawang, Syekh Quro datang di pelabuhan Muara Jati, daerah Cirebon pada tahun 1416 Masehi. Syekh Nurjati mendarat di Cirebon pada tahun 1420 Masehi atau 4 tahun setelah pendaratan Syeh Quro di Cirebon. Kedatangan Syekh Quro disambut baik oleh Syahbandar atau penguasa pelabuhan Muara Jati Cirebon yang bernama Ki Gedeng Tapa.

Maksud dan tujuan kedatangan Syekh Quro ke Cirebon adalah untuk menyebarkan ajaran Islam kepada rakyat Cirebon, ketika di Cirebon, Syekh Quro dipanggil dengan nama Syekh Mursadatillah oleh Ki Gedeng Tapa dan para santrinya atau rakyat cirebon.

Setelah sekian lama di Cirebon, akhirnya misi Syekh Quro untuk menyebarkan ajaran islam di pelabuhan cirebon rupanya terdengar oleh Raja Pajajaran yang bernama Prabu Angga Larang. Namun disayangkan misi Syekh Quro ini oleh Prabu Angga Larang ditentang dan dilarang, dan kemudian Prabu Angga Larang mengutus utusannya untuk menghentikan misi penyebaran ajaran islam yang dibawakan oleh Syekh Quro dan mengusirnya dari tanah Cirebon.

Ketika utusan Prabu Angga Larang sampai di pelabuhan cirebon, maka utusan itu langsung memerintahkan kepada Syekh Quro atau Syekh Mursadatillah untuk segera menghentikan dakwah ajaran islam di pelabuhan cirebon. Agar tidak terjadi pertumpahan darah, maka oleh Syekh Quro perintah yang dibawakan oleh utusan Raja Pajajaran Prabu Angga Larang itu disetujuinya, dan Syekh Quro seraya berkata :"Meskipun dakwah dan penyebaran ajaran islam ini dilarang, kelak dari keturunan raja pajajaran akan menjadi Waliyullah yang meneruskan perjuangan penyebaran ajaran islam". Peristiwa ini sontak sangat disayangkan oleh Ki Gedeng Tapa dan para santri atau rakyat cirebon, karena Ki Gedeng Tapa sangat ingin berguru kepada Syekh Quro untuk memperdalam ajaran islam.

Ketika itu juga Syekh Quro pamit kepada Ki Gedeng Tapa Muara Jati Cirebon untuk pergi ke Malaka, maka Ki Gedeng Tapa menitipkan anak kandung putri kesayangannya yang bernama Nyi Subang Larang, untuk ikut berlayar bersama Syekh Quro ke Malaka.

Diperjalanan menuju Malaka, setelah beberapa waktu berada di pelabuhan Karawang, Syekh Quro menyampaikan dakwahnya di musholla yang dibangunnya dengan penuh keramahan. Uraiannya tentang ajaran islam mudah dipahami, dan mudah pula untuk diamalkan, karena ia bersama santrinya langsung memberi contoh. Pengajian Al-Qur'an memberikan daya tarik tersendiri, karena ulama besar ini memang seorang Qori yang merdu suaranya. Oleh karena itu setiap hari banyak penduduk setempat yang secara sukarela menyatakan masuk islam.

Berita tentang dakwah Syekh Quro di pelabuhan Karawang rupanya telah terdengar kembali di telinga Prabu Anggara Larang, raja pajajaran yang dahulu pernah melarang Syekh Quro melakukan kegiatan yang sama tatkala mengunjungi pelabuhan Muara Jati Cirebon. Sehingga ia segera mengirim utusan yang dipimpin oleh sang putra mahkota yang bernama Raden Pemanah Rasa, untuk menutup Pesantren Syekh Quro. Namun, tatkala putra mahkota ini tiba di tempat tujuan, rupanya hatinya tertambat oleh alunan suara merdu ayat-ayat suci Al-Qur'an yang dilantunkan oleh Nyai Subang Larang. Putra mahkota ( yang setelah dilantik menjadi Raja Pajajaran bergelar Sri Baduga Maharaja atau Prabu Siliwangi ) itu pun mengurungkan niatnya untuk menutup Pesantren Quro, dan tanpa ragu-ragu menyatakan isi hatinya untuk memperistri Nyi Subang Larang yang cantik dan halus budi pekertinya.

Lamaran tersebut rupanya diterima oleh Nyai Subang Larang dengan syarat mas kawinnya haruslah berupa "Bintang Saketi Jejer Seratus". Yaitu simbol dari "tasbih" yang berada di Negeri Mekkah.

Sumber lain menyatakan bahwa hal itu merupakan kiasan bahwa Sang Prabu Siliwangi haruslah masuk islam, dan patuh dalam melaksanakan syariat islam. Selain itu, Nyai Subang Larang juga mengajukan syarat, agar anak-anak yang akan lahir kelak  haruslah ada yang menjadi raja. Semua hal tersebut rupanya disanggupi oleh Raden Pemanah Rasa, sehingga beberapa waktu kemudian pernikahan pun dilaksanakan, bertempat di Pesantren Quro ( atau Masjid Agung Karawang sekarang ) dimana Syekh Quro sendiri bertindak sebagai penghulunya.

Raden Pemanah Rasa dan Nyai Subang Larang dikaruniai 3 orang anak yang bernama :

1. Raden Walangsungsang atau Pangeran Cakrabuana atau Cakraningrat ( Yang lahir pada tahun 1423 Masehi ) 

2. Nyi mas Rara Santang atau Syarifah Muda'im ( Yang lahir pada tahun 1426 Masehi ) 

3. Raja Sangara atau Raden Kian Santang ( Yang lahir pada tahun 1428 Masehi )  

Ketika anak-anak Nyi Subang Larang dengan Raden Pemanah Rasa telah menginjak usia dewasa dan telah mendapat bimbingan dari Waliyullah Syekh Quro, maka ketiga anak-anak itu ditugaskan oleh Syekh Quro untuk lebih memperdalam lagi ajaran islam ke Pelabuhan Cirebon untuk berguru dengan Syekh Nurjati Cirebon.

Setelah cukup mendapatkan bimbingan dari Syekh Nurjati Cirebon, maka ketiga anak Nyi Subang Larang dengan Raden Pemanah Rasa diberi tugas oleh Syekh Nurjati, Si bungsu Raden Sangara atau Raden Kian Santang diberi tugas menyebarkan dan mengajarkan ajaran islam di bagian Barat Cirebon yakni ke wilayah Limbangan kabupaten Gabut, sedangkan Nyi Mas Rara Santang bersama kakaknya Raden Walangsungsang ditugaskan untuk berhaji dan sebelum berhaji disarankan terlebih dahulu menemui Syekh Ibrahim di Campa untuk mendapatkan bimbingan.

Setelah mendapatkan bimbingan dari Syekh Ibrahim, maka Raden Walangsungsang dan Nyi Mas Rara Santang ditugaskan untuk melanjutkan perjalanannya ke Mekkah. Selama di Mekkah, keduanya tinggal di pondok Syekh Bayanullah, adik Syekh Nurjati dan berguru kepada Syekh Abuyazid. Setelah selesai melaksanakan ibadah haji, maka kakaknya Nyi Mas Rara Santang yang bernama Raden Walangsungsang ketika di Mekkah mempersunting Nyi Indang Geulis atau Endang Ayu, sedangkan Nyi Mas Rara Santang dipersunting oleh raja Mesir yang bernama Maulana Sultan Mahmud atau Syarif Abdullah.

Kemudian setelah berhaji, Raden Walangsungsang beserta istrinya Nyi Indang Geulis pulang ke negeri Caruban atau Cirebon, sedangkan adiknya yang bernama Nyi Mas Rara Santang dibawa oleh suaminya ke negeri Mesir.

Nyi Mas Rara Santang setelah menikah dengan Maulana Sultan Mahmud atau Syarif Abdullah namanya diganti menjadi Syarifah Muda'im. Hasil dari pernikahannya dikaruniai 2 orang anak yakni : 

1. Syarif Hidayatullah ( Lahir di Mesir pada tahun 1450 Masehi )

2. Syarif Nurullah ( Lahir di Mesir pada tahun 1453 Masehi )

waktu terus berganti, setelah Syarif Abdullah (Ayahnya Syarif Hidayatullah) meninggal dunia, maka jabatan Sultan Mesir diserahkan kepada Syarif Nurullah, sedangkan Syarif Hidayatullah dan ibundanya yang bernama Nyi Mas Rara Santang meneruskan menimba ilmu agama islam dari ulama Mekkah dan Baghdad. Setelah cukup menimba ilmu, tepatnya pada tahun 1475 Masehi Syarif Hidayatullah bersama Ibunda pulang ke Negeri Caruban atau CIrebon bermaksud untuk dakwah menyebarkan ajaran islam dan bertemu dengan Eyang dan Uwaknya yakni Ki Gedeng Tapa dan Raden Walangsungsang atau Pangeran Cakrabuana.

Sesampainya di pelabuhan Muara Jati Cirebon, mereka disambut baik oleh Ki Gedeng Tapa yang merupakan Eyangnya Syarif Hidayatullah dan Raden Walangsunsang yang merupakan Uwaknya Syarif Hidayatullah, pada waktu itu, Raden Walangsungsang menjadi penguasa Cirebon yang bergelar Pangeran Cakrabuana atau Cakraningrat. Akhirnya setelah lama di Cirebon Syarif Hidayatullah mendapatkan bimbingan dan arahan dari Ki Gedeng Tapa dan Raden Walangsungsang untuk menjadi Santri Baru guna menimba lebih dalam lagi ilmu dan memperdalam Agama Islam ke Paguron Gunung Jati di Pasambangan Jati yang dipimpin oleh Syekh Nurjati Cirebon.

Waktu terus bergulir setelah memperdalam ilmu agama di Paguron Gunung Jati, Syarif Hidayatullah menerima wejangan-wejangan diantaranya : "ketahuilah bahwa nanti di zaman akhir, banyak orang yang terkena penyakit. Tiada seorang pun yang dapat mengobati penyakit itu, kecuali dirinya sendiri karena penyakit itu terjadi akibat perbuatannya sendiri. Ia sembuh dari penyakit itu, kalau ia melepaskan perbuatannya.

Dan ketahuilah bahwa nanti di akhir zaman, banyak orang yang kehilangan pangkat keturunannya, kehilangan harga diri, tidak mempunyai sifat malu, karena dalam cara mereka mencari penghidupan sehari-hari tidak baik dan kurang berhati-hati. Oleh karena itu sekarang engkau jangan tergesa-gesa mendatangi orang-orang yang beragama Budha.

Baiklah engkau sekarang menemui Sunan Ampel di Surabaya terlebih dahulu dan mintalah fatwa dan petunjuk dari dia untuk bekal usahamu itu. Ikutilah petunjuk dia, karena pada saat ini di tanah jawa baru ada dua orang tokoh dalam soal keislaman, ialah Sunan Ampel di Surabaya dan Syekh Quro di Karawang. Mereka berdua masing-masing menghadapi Ratu Budha, yakni pajajaran Siliwangi dan Majapahit. Maka sudah sepatutnya sebelum engkau bertindak, datanglah kepada dia terlebih dahulu. Begitulah adat kita orang jawa harus saling menghargai, menghormati antara golongan tua dan muda.

Selain itu, dalam usahamu nanti janganlah kamu meninggalkan dua macam sembahyang sunnah, yaitu sunnah Dhuha dan Sunnah Tahajjud. Disamping itu,engkau tetap berpegang teguh pada empat perkara, yakni Syare'at, Hakikat, Tarekat, dan Ma'rifat, serta wujudkanlah atau bentuklah masyarakat yang islamiyyah".

Waktu terus berganti, ketika Syekh Nurjati meninggal dunia maka pemimpin Paguron Gunung Jati dipimpin oleh anak bungsunya yang bernama Syekh Datuk Khafid.

Bulan berganti tahun, ketika usia Syekh Datuk Khafid sudah udzur, maka kedudukan atau pimpinan Paguron Gunung Jati digantikan oleh Syarif Hidayatullah. Ketika menggantikan kedudukan pimpinan Paguron sebagai Guru dan Da'i di Amparan Jati Syarif Hidayatullah diberi julukan Syekh Maulana Jati atau disingkat Syekh Jati.

Paguron Gunung Jati yang dipimpin oleh Syarif Hidayatullah ternyata berkembang pesat, banyak santri-santri dari luar Cirebon yang menimba ilmu di Paguron Gunung Jati. Perkembangan ini terus berlanjut tatkala Syarif Hidayatullah menggantikan uwaknya yakni Raden Walangsungsang yang usianya sudah sangat udzur untuk memimpin kerajaan Cirebon.

Ketika memimpin kerajaan Cirebon Syarif HIdayatullah diberi gelar Susuhunan atau Sunan Gunung Jati Cirebon. Syarif Hidayatullah menikah dengan Nyai Kawunganten adik dari Bupati Banten. Dari pernikahannya itu, dikaruniai 2 anak, yakni :

1. Ratu Wulung Ayu 

2. Maulana Hasanuddin, yang kelak menjadi Sultan Banten I.

Pada tahun 1480 M atau semasa dengan Wali Songo Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati Curebin, membangun sebuah masjid yang diberi nama Masjid Sang Cipta Rasa. Masjid ini dibangun atas kerja sama antara Sunan Gunung Jati dengan Sunan Kalijaga. Nama masjid ini diambil dari kata "Sang" yang bermakna keagungan, "Cipta" yang bermakna dibangun, dan "Rasa" yang bermakna digunakan. Masjid Sang Cipta Rasa terletak di sebelah utara keraton kasepuhan Cirebon. Masjid ini terdiri dari dua ruangan, yaitu beranda dan ruangan utama. Untuk menuju ruangan utama, terdapat sembilan pintu, yang melambangkan Wali Songo. Masyarakat Cirebon tempo dulu terdiri dari berbagai etnik. Hal ini dapat terlihat pada arsitektur Masjid Agung Cipta Rasa yang memadukan gaya Demak, Majapahit, dan Cirebon. Alfatihah

Sumber :

* Syekh Quro Karawang Disparbud Prov. Jabar

* Biografi Syekh Nurjati IAIN Cirebon

* Sejarah Makam Syekh Quro Lemah Gandu 

* Biografi Syekh Nurjati H. R. Bambang Irianto, BA dan Dra. Siti Fatimah, M.hum. 2009. Syekh Nurjati (Syekh Datul Kahfi) perintis dakwah dan pendidikan. 

   

0 Response to "Sejarah Syekh Quro Karawang lengkap dengan sumbernya "

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel